FACHRRUROZY PULUNGAN
Hubungan harmonis merupakan nilai kemanusiaan yang harus selalu dapat diwujudkan oleh setiap yang merasa dirinya insan (manusia), betapapun terjadi aneka perbedaan diantara mereka. Jalinan hubungan kasih sayang yang erat adalah tujuan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu diperintahkan untuk melakukan silaturrahim, yaitu menyambung hubungan kasih sayang. Dan dalam konteks inilah Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa hakikat silaturrahim bukan cuma menjalin hubungan yang sudah ada, tetapi menyambung hubungan yang terputus. Nabi SAW bersabda, “ Laisa al muashil bi al mukafi walakinna al muashil ‘an tashila man qotha’aka”/bukanlah yang dikatakan bersilaturrahim itu orang yang membalas kunjungan, akan tetapi yang dikatakan bersilaturrahim itu adalah menyambung apa yang terputus.
Allah dengan tegas dan lugas berfirman, bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara, dan kita diperintahkan untuk mendamaikan perselisihan antara orang-orang beriman jika mereka berselisih. Firman Allah dalam surah al Hujarat ayat 10 itu menjadikan konsekwensi dari persamaan iman adalah ‘shalaah/berdamai’. Jika tidak, maka harus ada yang tampil melakukan ‘ishlaah/pendamai’.
Dalam kamus bahasa Arab, kata shalaah diartikan sebagai lawan kata ‘fasad/kerusakan’. Dan dalam al Qur’an kata ‘shalaah’ dan ‘ishlaah’ disebut berulang-ulang, yang pada umumnya tidak ditampilkan dalam konteks sikap kejiwaan, tetapi justru digunakan dalam kaitan perbuatan nyata. Hal ini dikarenakan sikap kejiwaan semata belum cukup untuk melahirkan hubungan yang harmonis. Berapa banyak maksud baik yang tampil dalam bentuk yang keliru berujung putusnya hubungan yang harmonis. Karena itu, janganlah kita berdalih bahwa, ‘sebenarnya maksud saya baik’, akan tetapi tampilkanlah isi hati dalam bentuk nyata dan kongkrit, dan disini baru terjadi apa yang disebut ishlaah itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa karena satu dan lain hal, hubungan harmonis yang diharapkan selalu dapat terwujud, apalagi keinginan (hawa, syahwat) seringkali menyuburkan keretakan hubungan antara sesama kita. Rasulullah Muhammad SAW masih mentolerir kesalahpahaman dan keretakan hubungan sesama muslim selama tiga hari. Setelah itu, semua kesalahan dan keretakan hubungan tidak lagi dibenarkan. “ Tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan saudaranya karena benci lebih dari tiga hari”. Itulah sabda Nabi SAW untuk mengingatkan kita.
Masa tiga hari pada dasarnya sudah cukup untuk mengantarkan masing-masing kita yang eskete/bekot atau tidak bersitegur sapa, merenungkan nilai-nilai yang diajarkan agama Islam yang menyangkut hubungan antar manusia. Melangkah menuju hubungan yang harmonis merupakan substansi pokok yang diharapkan dalam hubungan antar sesama ustadz, sesama pimpinan majelis, sesama keluarga, sesama tetangga, sesama karyawan, sesama manusia.
Paling tidak, jika terjadi kesalah pahaman, masing-masing pihak harus dapat menahan diri dengan tidak menampakkan perasaan marah, sebagaimana menurut al Qur’an (yang kita pedomani sebagai panduan kehidupan dunia akhirat kita), pada surah Ali Imran ayat 134 bahwa hal ini baru merupakan langkah awal. Langkah berikutnya adalah ‘menghapus bekas luka dihati’, dan inilah yang diistilahkan al Qur’an ‘memaafkan’.
Kata maaf terambil dari kata ‘afwu’ yang berarti ‘kelebihan’. Kelebihan dan kekurangan adalah sesuatu yang tidak wajar, sehingga harus disingkirkan. Kesalahan yang dilakukan seseorang adalah kelebihan prilaku yang tak wajar, dan menyimpan di dalam hati kesalahan tersebut adalah kelebihan yang tak wajar juga, sehingga ia harus disingkirkan dan dienyahkan jauh-jauh. Dari pengertian ini bisa dipahami makna menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan tak wajar atau memaafkan itu.
Selanjutnya, yang harus ditempuh guna menjalin hubungan harmonis adalah berbuat baik kepada siapa yang pernah dilukai hatinya, dan langkah menuju tahapan akhir ini adalah membuka lembaran baru. Inilah yang disebut al Qur’an sebagai ‘al shafhu’. Kata al shafhu pada mulanya berarti lapang. Lembaran pada buku, juga dinamai ‘shafhat’. Karena itu berjabat tangan dinamai ‘tashafih’ atau ‘mushafahat’. (Bukan salaman, apalagi-salim). Dengan demikian tashafih atau berjabat tangan bukan sekedar memaafkan kesalahan, tetapi para pelakunya sudah lapang dada, sehingga mampu membuang kesalahan orang lain, dan mulai membuka lembaran baru. Dan itu pula yang mungkin mentradisi kepada kita yang diajarkan orang-orang tua, setelah berjabat tangan, kita bawa tangan kita ke dada atau ke muka, yang menunjukkan perwujudan dari hubungan harmonis yang mengantarkan masing-masing memberi kebaikan kepada mitranya.
Memaafkan tidaklah semudah mengatakannya memang. Kata para sufi, memaafkan harus dilatih terus menerus, karena sifat pemaaf tumbuh dari ‘kedewasaan ruhaniah’. Ia merasakan hasil perjuangan yang berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadab dan diantara dua tekanan ‘pengecut dan pemberang. Sifat pemaaf menghias akhlak para Nabi dan orang-orang shaleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Allah Yang Maha Pengampun ( To err is human, but to forgive is divine/Salah itu sifat manusia, namun memaafkan adalah sifat Tuhan) .
Memaafkan tidak bisa direkayasa secara artifisial dengan upacara pemutihan seperti halal bi halal. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang tulus kepada orang lain. Orang yang hanya memperhatikan dirinya, tak akan pernah bisa memaafkan orang lain. Pada dasarnya, orang egois adalah anak kecil yang menduga dunia diciptakan untuk memenuhi keinginannya. Dan salah satu akibat buruk dari kekuasaan ialah anggapan bahwa penghormatan orang lain kepadanya adalah kewajiban.
Karena itu, untuk dapat memafkan, kita harus memusatkan perhatian kita kepada orang lain. Kita harus beralih dari pusat ego kepada posisi orang lain, dari egoisme kepada altruisme. Orang yang altruis disebut dalam al Qur’an sebagai ‘muhsinin’/orang-orang yang berbuat baik.
Menahan marah tanpa memaafkan hanya menumpuk penyakit. Memaafkan tanpa berbuat baik hanya menyemarakkan ritus sosial. Menahan marah, memaafkan dan berbuat baik harus dilakukan sekaligus, tidak boleh dipilah-pilah.
Itu pula sebabnya para sufi mengajarkan para pengikutnya utuk lebih dahulu ber at takhliyah (menyingkirkan sifat jelek) baru kemudian ber at tahliyah ( berhias diri dengan kebaikan). Mudah-mudahan Idul Fithri kita kali ini menjadikan kita adalah orang-orang yang ‘shalah’ sebagai hasil pendidikan Ramadhan yang sudah bertahun-tahun kita kerjakan. Wallahu a’lam
(dat02)
No comments:
Post a Comment