Search This Blog

Wednesday, 16 June 2010

Mimbar Jumaat : Komitmen umat Islam terhadap pemimpin


Oleh : NASIR

Allah Swt berfirman : Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah. (QS. Al-Maidah : 55)

Ayat di atas menjelaskan kepada kita betapa pentingnya seorang pemimpin yang beriman, lagi melaksanakan shalat dan membayar zakat, sehingga kepemimpinan mereka sinergi dengan kepemimpinan Rasul saw yang diangkat oleh Allah swt untuk melaksanakan misi Tuhan di permukaan bumi dan pada hakikatnya jika risalah (misi) Allah swt terlaksana dengan baik Dia (Allah swt)lah pemimpin dan pelindung kita sebenarnya.

Pentingnya pemimpin yang seakidah tersebut nampak jelas pada permulaan ayat di atas diawali dengan kata “innama” yang diartikan oleh Tafsir Departemen Agama dengan “sesungguhnya”, di dalam bahasa Arab kata innama lebih dari sekedar menguatkan (tauhid) akan tetapi membatasi (adatuhasrin) dengan arti kata tidak ada pilihan lain kecuali pemimpin beriman, menegakkan shalat, berzakat, dan nampak jelas kepatuhannya kepada Allah Swt.

Lagi pula kepemimpinan dalam konteks ini terjemahan dari kata wali/pelindung, yang di dalam bahasa Arab wali tersebut mengandung makna yang lebih mendalam dari sekedar pelindung, yaitu kesetiaan, kecintaan, dan loyalitas karena adanya ikatan yang disimpul kokoh yaitu ikatan akidah. Bahkan di dalam Fikih Siasah/ Fikih Politik Islam, kata wali dijadikan satu pembahasan khusus yaitu : al wala’ wal barra’ (kesetiaan dan berlepas diri). Kesetiaan tersebut hanya ada dalam satu ikatan akidah meskipun antara sesama non muslim, mereka satu sama lain saling loyal dan saling melindungi.

Allah swt berfirman : Orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung/ loyal antara sesama mereka, jika kamu hai orang-orang beriman tidak melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan besar. (QS. Al-Anfal : 73)

Adapun yang tidak punya loyalitas sama sekali adalah orang-orang munafik, mereka itu tidak punya pendirian dalam masalah kepemimpinan, tergantung kepada manfaat materi yang mereka dapati. Allah swt menjelaskan keadaan orang-orang munafik : Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan satu dengan yang lain adalah sama (mereka tidak punya pemimpin), mereka menyuruh berbuat munkar dan mencegah dari berbuat ma’ruf. (QS. At-Taubah : 68). Jika mereka punya pemimpin atau punya teman akrab lebih cenderung mendukung orang-orang kafir dan itu salah satu tanda kemunafikan. Allah berfirman : Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih, yaitu mereka-mereka yang menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang beriman, apakah mereka ingin mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? (QS. An-Nisa’ : 138-139)

Senada dengan ayat di atas, Nabi Muhammad saw bersabda : Semua manusia pengikut quraisy dalam hal agama ini, yang muslim pengikut yang muslim dan mereka yang kafir juga pengikut yang kafir mereka. (Hadis muttafaqun ‘alaihi)

Persoalannya mengapa keimanan menjadi syarat penting untuk seorang pemimpin dalam suatu komunitas, apalagi mayoritas muslim? Jawabannya adalah kepemimpinan berkaitan erat dengan ketaatan dan kepatuhan yang dititahkan oleh Allah kepada sang pemimpin kepada hamban-Nya, sementara kepatuhan itu sendiri tidak berlaku kepada pemimpin yang kafir. Allah swt berfirman : Jangan kamu patuhi orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Alquran dengan semangat peruangan yang besar. (QS. Al-Furqan : 52)

Demikian pula kemaksiatan dan kemunkaran, kebebasan yang tidak terikat dengan norma-norma, tidak ada peluang bagi umat untuk mematuhinya. Rasul saw bersabda : Tidak ada kepatuhan untuk durhaka kepada al-Khaliq/ la ta’ata limakhluqin fi ma’siatil khaliq. (Hadis)

Oleh sebab itu jika terpilih pemimpin muslim tapi berlaku zalim terhadap umatnya, maka komitmen umatnya tetap memiliki pemimpin ketimbang tidak punya pemimpin sama sekali, meskipun umat tidak menyadarinya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : Sesungguhnya Nabi saw bersabda : Siapa yang tidak menyukai sesuatu dari pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar, sebab siapa yang keluar dari suatu pemerintahan lalu mati, maka matinya adalah mati jahiliyah. (Muttafaqun ‘alaihi)

Alasan lain yang mensyaratkan pemimpin wajib seakidah, karena kepemimpinan menyimpan sebuah makna kasih sayang sesuai asal kata wali itu sendiri, melindungi, menyayangi, bukan hanya sekedar mengatur manajemen pemerintahan belaka. Di dalam kata wali atau wala’ tersurat makna kasih sayang dan kesetiaan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin. Sementara Alquran telah memaparkan kepada kita bahwa mereka itu tidak pernah rela dengan keberislaman kita sampai kita mengikuti jejak mereka.

Allah swt berfirman : Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang sebenarnya dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah kebenaran sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong. (QS. Al-Baqarah : 120)

Kita tidak meragukan kecintaan umat ini kepada pemimpinnya seakidah, demikian pula kecintaannya kepada akidahnya sendiri. Akan tetapi yang dikhawatirkan adalah kemunafikan, dimana seorang kiyai, ustadz atau muballigh yang mengatasnamakan dirinya tokoh agama, tidak memahami kitab sucinya sendiri dan hadis-hadis Nabi saw yang berkaitan dengan kepemimpinan. Mereka lebih berpihak kepada kapasitasnya sebagai warga negara ketimbang kepada agama yang dianutnya. Padahal jika mereka mati dan berhadapan kepada Allah yang dipinta pertanggung jawaban oleh Allah swt adalah kapasitas mereka sebagai pengemban amanah agama. Meskipun demikian kapasitas sebagian warga Medan dan kapasitas sebagai pemeluk agama tidak dipertentangkan kecuali bagi orang-orang yang sengaja mempertentangkannya. Dengan kata lain, negara ini berdasarkan ketuhanan dan menjamin warga negaranya untuk menganut agama yang diyakininya, tapi yang perlu dipertanyakan apakah orang-orang munafikun mendapat posisi yang sama juga.

Mengakhiri tulisan ini, umat Islam satu sama lain saling melindungi dan punya komitmen terhadap pemimpin masa depannya. Demikian halnya orang-orang non muslim juga punya komitmen terhadap pemimpin masa depannya. Yang tidak punya komitmen sama sekali adalah orang-orang munafik, mereka sangat tergantung kepada manfaat sesaat yang didapatinya. Ketahuilah semua itu akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt.

Dari Abu Hurairah ra : Nabi bersabda : Dahulu Bani Israil selalu dipimpin oleh Nabi, setiap wafat Nabi diganti oleh Nabi yang lain. Namun sungguh tidak ada nabi sesudahku. Oleh karena itu akan diangkat khalifah-khalifah hingga menjadi banyak. Sahabat bertanya : apa perintahmu kepada kami? Nabi saw menjawab : tepatilah baiatmu (kontrak politikmu) kepada yang pertama, berikan hak mereka, maka Allah akan menanyakan kepemimpinan yang diserahkan Allah ke tangan mereka. (Muttafaqun alaihi). Wallahua’lam

Penulis :
- Pimp. Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batu Bara
- Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan
- Ketua Majelis Zikir Ulul Albab Sumut
- Direktur PT. GADIKA EXPRESSINDO UMROH & HAJI PLUS Cabang Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...